Aku selalu merasa keseharian sebagai perempuan itu seperti wardrobe yang penuh pilihan: ada yang nyaman, ada yang lagi tren, ada juga yang sejujurnya bikin sesak nafas. Kadang aku pakai gaun yang bikin aku merasa pede sampai sendi, kadang aku pakai hoodie dan celana sport karena mood dan produktivitas adalah prioritas. Di antara kain dan gerakan, aku belajar banyak soal siapa aku, apa yang aku dukung, dan bagaimana caraku menunjukkan itu ke dunia.
Kalau ditanya, aku suka fashion. Bukan untuk pamer, tapi karena fashion itu bahasa non-verbal yang bisa bilang banyak hal tanpa harus ngomong panjang. Ada momen aku sengaja mix-and-match vintage blouse dengan sneakers, bukan cuma karena aesthetic, tapi karena aku mau bilang: perempuan bisa nyaman dan tetap elegan. Pilihan baju kadang jadi pernyataan—tentang kebebasan bergerak, tentang tolak ukur kecantikan yang harus dirombak, atau sekadar tentang right to choose—pilihan kita.
Nah, di sini sering muncul perdebatan: kalau perempuan pilih pakai “feminin” berarti dia enggak feminist? Kalau dia pilih celana super ketat berarti dia tunduk pada patriarki? Ugh, mental looping. Menurut aku, feminism itu soal ruang memilih tanpa dipaksa. Jadi kalau aku pengen gaun berenda sambil bicara isu kesetaraan upah—kenapa enggak? Pilihan busana bukan indikator komitmen pada gerakan, tapi cara kita mengekspresikan diri.
Lucu ya, orang sering ngejudge kalau perempuan “terlihat feminin” maka dia lemah. Padahal aku pernah pakai high heels ke rapat besar dan ngebalas komentar seksis dengan argumen yang tajam. Heels bukan alat penakluk, tapi alat ekspresi—sama kayak otot-otot yang kita latih di gym. Kebugaran fisik dan mental itu penting; aku bisa berdiri tegap di stiletto sekaligus kuat secara intelektual. Ada kebanggaan aneh ketika aku menyeimbangkan buku tebal, latte, dan tas kerja sambil melangkah mantap. Itu semacam kecil-kecilan revolusi personal.
Di sisi lain, ada juga hari-hari yang aku butuh bangun tanpa drama: hoodie, celana longgar, dan playlist nostalgia. Feminisme itu nggak harus selalu tampil prima. Kadang istirahat adalah resistance juga—menjaga diri agar bisa terus melawan yang perlu dilawan besoknya.
Karier? Aku bukan superhero yang tiap hari jago. Ada waktu imposter syndrome datang mampir dan bikin aku ragu. Tapi aku ingat diskusi di komunitas perempuan yang aku ikuti, di mana setiap cerita adalah reminder: kita saling menguatkan. Aku belajar negosiasi gaji, menegaskan boundary, dan memilih kolaborator yang menghargai. Jangan malu-malu kalau kita belajar dari kegagalan; itu bagian dari proses.
Cinta? Ya, itu masih soal belajar menyalurkan energi kepada orang yang benar-benar menghargai. Hubungan yang sehat itu yang bisa membuat kita tumbuh, bukan membungkam. Kalau pasangan nggak support passion atau bikin kita downgrade impian, itu red flag, sis. Kadang kita perlu lebih sayang ke diri sendiri dulu daripada ngoyo mempertahankan sesuatu yang bikin kita nyaris hilang arah.
Lifestyleku juga berubah: lebih mindful soal konsumsi, lebih selektif soal event yang dihadiri, dan lebih sering memilih kebahagiaan kecil—kopi sore tanpa ponsel, jalan kaki di taman, atau membaca buku yang menginspirasi. Aku pernah nemu tulisan bagus di larevuefeminine yang bikin aku mikir ulang tentang definisi sukses. Itu semacam tamparan lembut tapi jujur bahwa hidup nggak harus sesuai checklist orang lain.
Ada perempuan tetangga yang tiap pagi ngajarin anak-anak di kampung dengan sabar; ada juga teman yang berani buka usaha kecil setelah PHK. Mereka bukan headline media, tapi mereka pahlawan lokal yang kerja keras tanpa sorotan. Di sisi lain ada tokoh-tokoh global yang jadi role model—tapi yang paling mengena seringnya adalah yang dekat: support system, mentor, bahkan diri sendiri yang dulu pernah ragu tapi sekarang lebih berani.
Setiap hari aku menaruh sedikit waktu untuk mengapresiasi perjalanan ini. Kadang aku nangis karena capek, kadang aku ketawa keras saking bahagianya karena berhasil melewati roadblock. Yang penting: jangan berhenti nanya, belajar, dan bergerak. Kekuatan terbesar kita bukan cuma di outfit atau caption Instagram, tapi di keputusan-keputusan kecil yang berulang: berani berdiri, berani bicara, berani memilih.
Kalau ada satu pesan singkat dari catatan ini: pakailah apa yang membuatmu merasa utuh, berjuanglah untuk yang penting, dan jangan lupa tertawa di tengah proses. Kita sedang membangun dunia yang lebih ramah untuk perempuan—sambil sesekali pakai gaun, atau hoodie, atau apa pun yang kamu suka. Cheers untuk kita yang terus berjalan, meski kadang bergoyang sedikit di sepatu hak tinggi.
Aku masih ingat rok pertama yang kubeli sendiri. Bukan hasil pinjaman atau hadiah ulang tahun—melainkan…
Catatan Seorang Wanita: Gaya, Feminisme, dan Hidup yang Berani Saya selalu merasa hidup ini seperti…
Saat Pakaian Pertama Kali Bicara untukku Aku ingat hari itu jelas—mendung tipis di jendela kafe,…
Judul ini terasa manis dan berat sekaligus: Ruang Gaya dan Suara. Dua hal yang sering…
Pagi di depan lemari: bukan soal baju, tapi soal pilihan Setiap pagi aku berdiri menatap…
Di Balik Pintu Lemari: Cerita yang Tak Hanya Kain Setiap pagi saya membuka lemari, bukan…