Kalau kita duduk santai dengan secangkir kopi, kadang kita nggak sadar betapa perempuan menaruh jejaknya di dunia fashion. Bukan sekadar tren, tetapi suara yang tumbuh dari kain, warna, ukuran, dan cara kita menyelaraskan gaya dengan hidup kita. Fashion bagi banyak orang adalah bahasa: tempat kita menamai diri, menolak norma sempit, dan mengundang percakapan. Isu-isu perempuan seperti feminisme, representasi, hak kerja, kesehatan, dan keseimbangan hidup sering mewarnai pilihan kita, dari gaun yang kita pakai hingga label yang kita dukung. Ini bukan cerita manis-manis saja; ini kisah bagaimana kita mengubah pakaian menjadi pernyataan kecil setiap hari.
Sejarahnya menarik: pada abad ke-20, ikon seperti Coco Chanel membongkar wilayah kenyamanan yang terlalu kaku untuk perempuan. Kostum yang lebih ringan, little black dress yang serbaguna, dan warna netral menjadi simbol kebebasan. Lalu era 60-an hingga 70-an memperkenalkan power suit sebagai tanda bahwa perempuan bisa memimpin di tempat kerja tanpa kehilangan identitas. Di era digital, gerakan feminisme semakin menegaskan bahwa fashion adalah alat komunikasi identitas—bagaimana kita ingin dilihat, bagaimana kita ingin dihargai, dan bagaimana kita merayakan keberagaman. Industri fashion tidak lagi berjalan dalam satu garis lurus; ia jadi medan negosiasi antara estetika, etika, dan empati. Gaya menjadi pernyataan politis ringan, tanpa harus kehilangan kenyamanan pribadi.
Feminisme dalam fashion juga mendorong inklusivitas: ukuran tubuh yang beragam, representasi yang lebih luas, dan praktik produksi yang lebih adil. Ketika merek memperluas ukuran, menampilkan model dengan latar belakang beragam, atau menjamin transparansi rantai pasok, kita semua merasakan perubahan kecil yang besar itu. Fashion pun akhirnya menjadi refleksi tentang bagaimana kita merawat diri, merayakan keunikan, dan menolak standar sempit tentang kecantikan. Gaya tidak lagi berarti “menyempurnakan diri,” melainkan “menghargai diri” sambil tetap merawat bumi lewat pilihan yang lebih bertanggung jawab. Dan tentu saja, kita tidak perlu menunggu influencer besar untuk merasa punya suara; kita bisa mulai dari lemari, dari cara kita memilih, dan dari bagaimana kita menemani satu sama lain.
Informasi: Jejak Perempuan di Dunia Fashion
Sejak awal abad ke-20, perempuan telah membentuk arah industri ini lewat desain, peragaan, dan kritik budaya. Coco Chanel mematahkan korset dan menelurkan siluet yang lebih bebas; Little Black Dress menjadi simbol kepraktisan dan elegan bagi perempuan modern. Era 70-an membawa power suit ke ranah kerja, menegaskan bahwa opsi pakaian bisa menjadi pernyataan kekuatan profesional. Sementara itu, gerakan feminisme menuntut representasi yang adil: dari ukuran hingga kulit, dari identitas gender hingga akses ke pekerjaan kreatif di balik kamera.
Digitalisasi dan media sosial mempercepat arus perubahan tersebut. Fashion menjadi bahasa visual yang bisa dipakai untuk membahas hak-hak pekerja, kesehatan mental, serta keberlanjutan lingkungan. Merek yang transparan tentang produksi dan komitmen terhadap praktik etis jadi lebih dipilih oleh konsumen. Pada akhirnya, bukan lagi soal meniru pattern orang lain, melainkan bagaimana kita menamai diri sendiri lewat pakaian: nyaman, berdaya, dan tidak kehilangan empati terhadap sesama.
Di tingkat personal, gaya adalah potret kecil dari identitas kita—dan itu tidak pernah satu ukuran untuk semua. Memilih busana yang cocok dengan pekerjaan, ibu rumah tangga, pelajar, atau freelancer bisa menjadi pernyataan tentang prioritas hidup kita. Fashion jadi semacam ritual harian: merawat diri, merencanakan hari, dan menari di antara variasi yang terus berubah. Ketika kita bisa memadukan kenyamanan dengan keunikan, kita memberi contoh bahwa feminisme tidak melulu tentang aksi besar; ia juga tentang cara kita menjalani hari-hari kecil dengan rasa percaya diri.
Ringan: Gaya Hidup Sehari-hari yang Terinspirasi Feminin
Pagi hari bisa dimulai dengan capsule wardrobe: beberapa potong yang fleksibel, bisa mix-and-match, sehingga tidak perlu pusing setiap pagi. Pakaian yang tahan lama, warna yang mudah dipadukan, dan perawatan sederhana membantu kita menciptakan gaya tanpa rasa bersalah karena boros. Gaya hidup seperti ini juga lebih ramah lingkungan—mengurangi fast fashion, memperpanjang usia barang, dan memberi ruang bagi desain lokal yang unik. Sepatu, tas, dan aksesori jadi bumbu penyegar yang bikin outfit nggak monoton, tanpa harus selalu beli barang baru.
Menjaga suasana hati lewat busana adalah bentuk self-care yang praktis. Pakai warna yang membuat kita tersenyum, susun celana dan atasan favorit kita secara rapi, dan biarkan pola kecil atau motif favorit menambahkan karakter pada hari kita. Humor ringan kadang muncul: “kalau warnanya terlalu nyala, tambahkan netral di atasnya.” Langkah kecil seperti ini bisa menjaga kita tetap merasa nyaman, percaya diri, dan tetap relevan dengan lingkungan—tanpa kehilangan keaslian. Di sisi feminisme, gaya hidup yang sadar memberi kita kekuatan untuk memilih merek yang mendukung nilai kita, menghormati pekerja, dan merayakan keragaman tubuh. Dan kalau ingin referensi bacaan yang enak di mata untuk feminisme di fashion, aku suka membaca di larevuefeminine.
Kunci utamanya: fashion adalah alat, bukan tujuan. Ini tentang bagaimana kita menggunakannya untuk membangun komunitas, mengekspresikan kreativitas, dan memperlambat ritme hidup agar lebih manusiawi. Kita bisa tetap stylish sambil menjaga keberlanjutan, sambil mendorong perubahan kecil yang berdampak besar bagi diri sendiri dan orang-orang di sekitar kita.
Nyeleneh: Dari Runway ke Ruang Tamu, Keberanian Menjadi Diri
Runway adalah panggung ekspresi besar, tapi rumah juga bisa menjadi arena kebebasan. Nyeleneh di rumah bisa berarti memadukan motif berani dengan fashion santai: misalnya jaket bercahaya dipadukan dengan kaos putih sederhana, atau motif prints besar dipakai dengan denim yang rapih agar tetap terlihat boss. Ini soal keberanian untuk menampilkan diri tanpa perlu mengeluarkan semua konvensi yang ada. Kita tidak perlu meniru satu standar gaya untuk dianggap “mewah” atau “berkelas”; kita bisa menilai fashion lewat kenyamanan dan keautentikan diri.
Inspirasinya datang dari banyak perempuan di sekitar kita: sahabat, rekan kerja, ibu-ibu pengajar komunitas seni, atau aktivis muda yang membakar semangat dengan cara mereka sendiri. Mereka membuktikan bahwa busana adalah alat komunikasi, bukan hukuman. Ketika kita memilih warna, potongan, atau aksesori dengan sadar, kita menegaskan bahwa kita berhak menilai dunia lewat mata kita sendiri. Dan ya, kadang kita tertawa kecil ketika pakaian favorit kita terlalu bersemangat saat Zoom meeting: warna neon yang menyala ditemani background yang tidak terlalu netral. Tapi itu bagian dari keaslian. Gaya kita bukan untuk diterima oleh semua orang—tapi untuk kita sendiri, setiap hari.