Saat Rok Mini Bertemu Aktivisme: Cerita Fashion dan Feminisme

Saatku memutuskan pakai rok mini ke aksi (iya, beneran)

Aku nggak pernah nganggep pakaian itu netral. Buat aku, baju itu bahasa—kadang bilang “hai aku nyaman”, kadang juga “lihat aku”, atau bahkan “aku marah”. Jadi waktu temen-temen ngajak ikut aksi buat nuntut kebijakan yang lebih pro perempuan, aku mikir, kenapa nggak? Aku pilih rok mini. Bukan karena pengen pamer atau provokasi, tapi karena mau kasih pesan sederhana: badan aku, hak aku, dan aku berhak tampil sesuai keinginan.

Fashion itu politik, tapi bukan soal penceramah

Orang suka ngejar debat panjang soal “apakah pakaian memicu kekerasan” atau “harusnya perempuan berpakaian sopan”. Aku cuma ketawa kecil dan jawab, “baju sama kekerasan itu beda channel, bro.” Fashion memang sering dipolitisasi, tapi buat aku, ini lebih tentang reclaiming—mengambil kembali pilihan dari orang yang berusaha mengontrol kita. Rok mini di aksi bukan cuma statement visual, tapi juga cara aku bilang: kita nggak bisa diatur cuma karena penampilan.

Reaksi orang? Campuran antara ooh, eh, dan lol

Pasti deh ada yang nanya, “berani amat?” atau komentar satir macam “udah dewasakah?” Ada juga yang mendukung dan bilang itu keren. Lucunya, ada yang serius mengidolakan outfitku lebih dari tuntutan aksi—semacam fashion influencer dadakan. Aku belajar satu hal: reaksi orang itu cerminan mereka, bukan aku. Kalau ada yang terganggu sama rok mini, itu masalah mereka, bukan wardrobe-ku.

Ngomongin kenyamanan: heels atau sneakers? jawabannya kopi

Perjuangan feminis itu nggak harus dramatis. Kadang kita selipin kenyamanan juga. Di satu aksi aku kombinasikan rok mini sama sneakers—biar lari-lari kalau perlu, dan tetap gaya buat foto-foto. Mode hidup feminis versi aku: praktis tapi meaningful. Gaya nggak harus menyakitkan; kita bisa protes sambil tetap menikmati secangkir kopi setelahnya.

Gaya hidup feminis itu bukan seragam

Ada yang mikir feminis harus tampil serba longgar, pakai warna netral, atau selalu cuek soal penampilan. Enggak juga. Feminisme yang aku jalani tuh plural. Ada teman yang nyaman berkerudung, ada yang suka rok mini kayak aku, ada yang ngangkat isu tubuh trans. Semua sah. Kunci utamanya: kebebasan memilih tanpa takut dihukum. Kalau pakaianmu membantu kamu merasa kuat—pakai. Kalau makeup bikin kamu happy—makeup. Simple as that.

Untuk bacaan dan inspirasi, aku sering mampir ke beberapa blog dan komunitas yang nunjukin bahwa fashion dan aktivisme bisa bersinergi. Salah satunya larevuefeminine, yang ngasih perspektif lucu tapi dalem tentang bagaimana perempuan bisa mengekspresikan diri tanpa kehilangan tujuan perjuangan.

Pengalaman kecil, pelajaran besar

Aksi itu berakhir dengan secangkir kopi di warung sempit. Kita ngobrol panjang tentang pengalaman harassment, akses kesehatan, dan gaji yang belum adil. Rok mini-ku jadi bahan bercandaan yang bikin suasana cair. Ternyata, hal kecil seperti pilihan outfit bisa membuka ruang bicara. Di sana aku sadar, aktivisme bukan cuma soal orasi di atas mobil komando; kadang itu juga obrolan hangat setelah aksi, dukungan satu sama lain, dan menumbuhkan keberanian untuk jadi diri sendiri di ruang publik.

Tips buat yang pengen combine fashion dan aktivisme

Nah, kalau kamu pengen coba juga, ini beberapa hal simpel yang aku lakukan: pikirin kenyamanan dulu (bisa bergerak, nggak ganggu fokus), pilih outfit yang bikin kamu merasa aman dan percaya diri, bawa teman yang supportif, dan siapin obrolan singkat kalau ada orang yang nanya sinis. Dan yang paling penting: jangan biarkan komentar negatif nyulik tujuanmu. Kamu di sana buat suara, bukan untuk orang yang mau nge-judge wardrobe-mu.

Penutup: lebih dari sekadar rok

Rok mini itu simbol, bukan jawaban tunggal. Itu simbol pilihan, kebebasan, dan kadang juga virus kecil yang nyebarin keberanian. Perempuan berjuang pake beragam cara—ada yang lewat legislasi, ada yang lewat seni, ada yang lewat pakaian yang tiap hari kita pakai. Kalau aku, aku pilih keduanya: berjuang sambil bergaya, dan tetap ngopi setelah capek teriak tuntutan. Karena feminisme yang kita mau itu manusiawi, hangat, dan—kenapa nggak—juga sedikit fun.