Pagi di depan lemari: bukan soal baju, tapi soal pilihan
Setiap pagi aku berdiri menatap lemari seolah sedang memilih mood. Kadang aku ingin sesuatu yang rapi dan “sah” untuk kantor, kadang aku ingin rok panjang yang berputar saat aku berjalan, hanya karena itu membuatku bahagia. Pilihan itu, bagi saya, kecil tapi penting. Bukan karena baju membuat saya jadi perempuan yang lebih berdaya, tetapi karena pakaiannya membantu saya menyampaikan apa yang ingin saya katakan pada dunia tanpa harus membuka mulut.
Ada hari-hari ketika aku memilih blazer yang pas. Ada juga hari-hari ketika aku memilih celana jeans tua dan kaus band yang kusukai. Kedua hal itu adalah bentuk ekspresi. Dan ekspresi itu, menurutku, adalah salah satu bentuk feminisme paling sederhana: hak untuk menampilkan diri tanpa dihakimi. Saya belajar banyak hal dari artikel dan komunitas—termasuk beberapa tulisan menarik di larevuefeminine yang membantu saya memahami bagaimana fashion bisa menjadi alat politik dan juga kenyamanan.
Suara yang kerap disematkan, suara yang ingin kubunyikan
“Jangan terlalu keras.” “Terlalu emosional.” Berapa kali kalimat itu muncul dalam hidup perempuan dekat saya? Terlalu sering. Suara menjadi soal kuasa. Ketika aku bicara di rapat, aku tahu tak semua orang akan mendengarkan sama. Ada yang mendengarkan karena ide memang bagus; ada juga yang mendengarkan karena aku memilih kata dan intonasi tertentu. Memang lelah. Tapi secara pelan-pelan aku belajar bagaimana menaruh kata-kata seperti perhiasan: dipilih, ditempatkan, dan dipakai untuk memperkuat, bukan mengalah.
Pada akhirnya, feminisme bukan tentang memaksa siapa pun menjadi hal tertentu. Bukan juga soal menenggelamkan suara laki-laki. Ini soal memberi ruang pada suara perempuan—termasuk suara saya yang kadang gemetar di awal presentasi, tapi kemudian tegas dan jelas. Suaraku, seperti lemari saya, berubah seiring waktu. Beberapa hari penuh warna. Beberapa hari sederhana. Semua valid.
Gaya sebagai rutinitas perawatan diri (dan sedikit kebohongan kecil)
Ada ritual kecil yang selalu aku lakukan: lipstik merah tua, anting simpel, dan parfum yang hanya aku gunakan pada hari-hari khusus. Itu bukan kaprik; itu perawatan diri. Ada kekuatan dalam memilih detail kecil sebelum keluar rumah. Ketika lipstikku rapi, aku merasa lebih siap. Ketika sepatuku nyaman, aku berjalan lebih tegak. Kebohongan kecil? Mungkin. Tapi kenapa tidak memanfaatkan benda-benda kecil itu untuk membuat kita merasa lebih kuat?
Saya juga suka berbelanja barang bekas. Kadang aku menemui blazer vintage yang pas di toko loak dekat kampus. Entah kenapa, jaket itu terasa seperti menyimpan cerita perempuan lain yang menolak untuk pudar. Membeli barang preloved kadang terasa seperti mengakui bahwa kita berhutang pada perempuan-perempuan sebelumnya: yang menukar gaya, menanggung harga, dan meninggalkan warisan kecil yang bisa kita pakai lagi.
Inspirasi: dari teman, ibu, dan perempuan di jalan
Ada satu hari ketika aku melihat seorang ibu di halte bus yang menggendong dua anak, mengenakan celana kerja, dan tersenyum padaku seperti mengakui kelelahan bersama. Aku ingin memberinya waktu pujian. Aku tidak melakukannya karena takut dianggap aneh. Tapi momen itu tetap melekat. Itu mengingatkanku bahwa inspirasi sering datang dari hal sehari-hari—bukan hanya dari tokoh publik.
Sahabatku Lili mengajari aku tentang batas: kapan harus bilang “tidak” tanpa bersalah. Ibuku mengajari aku tentang kerja keras, dan juga tentang pentingnya menegakkan harga diri. Mereka adalah guru feminisme yang tidak muncul di headline, tetapi mengajarkan banyak hal melalui kehidupan sederhana mereka. Kadang, inspirasi terbesar datang dari cara mereka menyusun makanan di meja makan, cara mereka mengaturnya agar ada ruang untuk diri sendiri di tengah kesibukan.
Di akhir hari, aku menarik napas dan menatap lemari lagi. Ada ketidaksempurnaan; ada pilihan yang terulang. Tetapi aku juga melihat keberanian—keberanian untuk memilih apa yang aku mau, untuk mengungkapkan suaraku, dan untuk menata gaya yang menceritakan siapa aku. Itu, bagi saya, adalah feminisme sehari-hari: kecil, nyata, dan terus berkembang.